- Back to Home »
- Kisah Teladan »
- Kisah Ahmad Bin Harun Ar-Rasyid
Posted by : Masdad Al-Falucky
Senin, 11 Februari 2013
Harun Ar-Rasyid adalah khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasyiyah dan memerintah antara 14 September 786 M -24 Maret 809 M (15 Rabi'ul Awaal 170AH-3 Jumada Ats-Tsani 193AH). Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah khalifah yang keempat. Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran berasal dari Yaman. Di dalam Bidayah Wa Nihayah (X/191), Ibnu Katsir: diterangkan bahwa Harun Ar-Rasyid menikah dengan seorang wanita yang dicintainya, yang bernama zubaidah sebelum ia menjadi raja, dari rahim Zubaidah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ahmad. Ahmad dikenal sebagai sosok pemuda yang tumbuh dalam kezuhudan, meskipun dikelilingi gelimangnya harta dan kemewahan, ia banyak duduk di majlis orang-orang zuhud dan wara'. Ia juga sering berziarah ke pemakaman.
Pada suatu hari, ia datang ke istana ayahnya, Harun Ar-Rasyid. Pada waktu itu semua menteri dan pejabat kerajaan beserta tamu-tamu terhormat lainya sedang berkumpul bersama raja., sedangkan anak laki-laki tersebut hanya mengenakan kain yang sangat sederhana dengan surban dikepalanya. Ketika orang-orang istana melihat dirinyadalam keadaan seperti itu, mereka salaing berkata:
"Tingkat laku anak gila ini menghina Amirul Mukminin dihadapan para bangsawan. Jika Amirul Mukminin menasehati dan mengingatkannya, mungkin ia akan berhenti dari kebiasaan gilanya itu"
Begitu mendengar perkataan mereka, Amirul Mukminin berkata kepada ana laki-lakinya:
"Wahai anakku sayang, engkau telah mempermalukan diriku dihadapan para bangsawan"
Mendengar kata-kata itu, ia tidak menjawab sepatah katapun atas perkataan ayahnya, tetapi ia memanggil seekor burung yang bertengger di ruangan tersebut dan berkata: "Demi Dzat yang menciptakanmu, terbang dan hinggaplah diatas tanganku". Burung itu pun terbang dan hinggap diatas tangannya. Kemudian ia berkata: "Sekarang, kembalilah ke tempatmu". Maka terbanglah burung itu lalu kembali ke tempatnya.
Setelah itu ia berkata:
"Ayahku, sebenarnya kecintaanmu kepada dunia itulah yang telah menghinakan diriku. Sekarang aku telah bertekad untuk berpisah denganmu"
Setelah berkata demikian, anak tersebut pergi meninggalkan istana. Ia pergi hanya membawa Al-Qur'an. Ibunya memberinya sebuah cincin mutiara yang sangat mahal agar dapat digunakan pada saat memerlukan.
Ia berjalan dari istana hingga tiba di Bashrah. Ia mulai bekerja sebagai buruh. Tatapi dalam satu minggu, ia hanya bekerja dalam satu hari, yakni pada hari sabtu. Hasil jerih payahnya selama sehari ia gunakan untuk keperluan hidupnya selama seminggu. Kemudian pada hari kedelapan, yakni hari sabtu, ia bekerja lagi. Ia hanya menerima upah sebesar satu dirham, dan untuk keperluan setiap harinya, ia menggunakan sebesar satu danaq (seperenam dirham). Ia tidak mau mengambil lebih atau kurang dari upah tersebut.
Abu Amir Bashri ra. Ia berkata: "ketika sebelah rumahku roboh, aku memerlukan seorang tukang batu untuk untuk memperbaiki rumahku. Ada seseorang yang memberi tahu aku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat memperbaiki rumah. Maka aku segera mencarinya. Diluar kota aku melihat seorang anak muda tampan yang sedang duduk membaca Al-Qur'an. Disisinya terletak sebuah tas kecil. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai anakku, apakah engkau mau bekerja sebagai buruh?' ia menjawab: 'Aku bersedia asalkan aku mendapat upah satu dirham dan stu danaq perhari, dan pada waktu shalat aku tidak bekerja. Aku harus mengerjakan shalat.' Aku menerima syaratnya. Kemudian saat shalat Maghrib tiba, aku sangat terkejut, karena ternyata ia telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik, pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh sepuluh orang. Aku memberinya upah dua dirham, akan tetapi ia tidak mau menerimanya, karena melebihi dari syarat yang telah ia ajukan. ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq, lalu pergi.
Karena merasa penasaran, pada hari berikutnya aku keluar mencarinya, tetapi ia tidak kutemukan. Aku bertanya kepada orang-orang dengan menerangkan ciri-ciri anak muda tersebut, kalau-kalau ada yang mengetahuinya. Orang-orang memberitahuku bahwa anak terbut hanya bekerja pada hari sabtu. Selain hari tersebut, tidak ada orang yang dapat menemukannya. Pada hari sabtu, aku mencarinya lagi dana kudapati ia sedangn membaca Al-Qur'an sebagaimana biasanya. Aku mengucapkan salam kepadanya dan menanyakan apakah ia bersedia bekerja lagi ditempatku dengan syarat yang sama dengan hari sabtu yang lau. Ia berangkat bersamaku dan mulai mengerjakan dinding rumahku lagi.
Aku masih sangat penasaran dengan pekerjaan anak muda tersebut, bagaimana mungkin ia mampu mengerjakan sendiri sebuah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh sepuluh orang pekerja. Maka, ketika ia mengerjakan pekerjaannya, dengan diam-diam aku mengintipnya. Betapa terkejutnya aku melihat apa yang dilakukannya. Ketika ia mengaduk semen dan meletakkannya di dinding, batu-batu itu menyatu dengan sendirinya. Maka aku sadar dan yakin bahwa anakn muda tersebut bukanlah pemuda biasa, akan tetapi seorang kekasih Allah. Sebagaimana hamba-hambaNya yang khusus, dalam melakukan pekerjaannya, pemuda tersebut selalu mendapat bantuan dari Allah secara ghaib.
Pada sora harinya aku hendak memberinya upah sebesar tiga dirham, akan tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq, kemudian pergi. Aku menuggunya lagi selama seminggu. Dan pada hari sabtu, kau keluar mencarinya. Akan tetapi kau tidak menemukannya. Aku memperoleh berita dari seseorang yang mengatakan bahwa pemuda tersebut sedang sakit. Tiga hari lamanya ia jatuh sakit.
Kemudian aku minta tolong kepada seseorang untuk mengantarkan aku ke tempat pemuda yang sedang menderita sakit itu. Sesampainya ditempat tinggalnya, ternyata pemuda itu tengah berbaring tak sadarkan diri diatas tanah, kepalanya berbantalkan potongan separuh batu bata. Ketika aku memberi salam kepadanya. Ia membuka matanya sedikit dan mengenaliku. Aku segera mengangkat kepalanya dari batu bata itu dan meletakkannya diatas pangkuanku. Tetapi ia menarik kepalanya dan membaca beberapa bait syair, dua diantanya adalah:
"Wahai kawanku, janganlah engkau terpedaya oleh kenikmatan dunia. Karena hidupmu akan berlalu. Kemewahan hanyalah untuk sekejap mata. Dan apabila engkau mengusung jenazah ke pemakaman, ingatlah suatu hari engkau pun akan diusung ke pemakaman"
Setelah mengucapkan syair tersebut, ia berkata: "Whai Abu Amir, jika ruhku keluar dari tubuhku, mandikanlah aku, dan kafanilah aku dengan pakaian ini." Aku menyahut: "Wahai sayang, aku tidak keberatan membelikan kain kafan yang baru untukmu"
Ia menjawab: "Orang yang masih hidup masih lebih memerlukan pakain yang baru daripada orang yang meninggal" (sama dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shidiq ra ketika hendak meninggal dunia).
Anak itu menambahkan: "kain kafan yang baru ataupun usang akan segera membusuk. Apa yang tinggal bersama seseorang setelah kematianya hanyalah amal perbuatannya. Berikanlah sarung dan cerekku ini kepada penggali kubur sebagai upahnya. Al-Qur'an dan cincin ini tolong sampaikan langsung kepada khalifah Harun Ar-Rasyid dan sampaiakn kepadanya pesanku: 'Wahai ayah, jangan samapai engkau meninggal dalam keaadaan lalai dan tertipu oleh dunia." Dengan keluarnya kata-kata tersebut dari bibirnya, pemuda itu pun meninggal dunia. Dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ternyata ia adalah seorang Pangeran, Putra Mahkota.
Stelah putra mahkota itu meninggal dunia, aku pun memandikannya, mengkafaninya, dan memakamkannya sesuai dengan wasiatnya. Kedua benda berupa sarung dan cerek aku berikan kepada penggali kubur. Kemudian aku pergi ke Baghdad dengan membawa Al-Qur'an dan cincin untuk aku serahkan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sungguh aku sangat beruntung, ketika aku sampai di pintu gerbang istana khalifah, pasukan raja sedang keluar adari istana khalifah. Aku pun berdiri di tempat yang tinggi. Mula-mula keluar pasukan berkuda yang sangat besar, yakni berjumlah 1000 tentara.
Setelah itu keluar lagi sepuluh pasukan berkuda, masing-masing berjumlah 1000 tentara. Amirul Mukminin sendiri berada didalam pasukan yang ke sepuluh. Dengan kerasnya aku berseru: "Wahai Amirul Mukminin, demi kekerabatanmu dengan Rasulullah saw, berhentilah sebentar!" Mendengar suaraku itu, ia melihat kepadaku. Maka dengan cepat aku maju ke arah Amirul Mukminin dan berkata: "Ini adalah titipan seorang anak laki-laki asing kepadaku. ia berwasiat agar aku menyampaikan dua macam benda ini langsung kepada engkau".
Begitu melihatnya, rajapun mengenalinya dan menundukkan kepala sesat. Air matanya mengalir dari kedua matanya. kemudian khalifah menyuruh pengurus istana untuk mengantarkanku ke istana.
Setelah khalifah kembali pada sore harinya, khalifah memerintahkan pengurus istana untuk menutup semua tabir istana dan berkata kepada penjaga pintu: "Panggil orang itu, walaupun ia akan membangkitkan lagi kesedihanku".
Penjaga pintu datang kepadaku dan berkata: 'Amirul Mukminin memanggilmu. tetapi ingat, Amirul Mukminin sedang berduka. Jika engkau ingin menyampaikan sesuatu dalah sepuluh kata, cobalah disampaiakan dalam lima kata saja'.
Setelah berkata demikian, ia membawaku kepada Amirul Mukminin. Pada waktu itu Amirul Mukminin duduk seorang diri. Akupun duduk didekatnya.
Lalu Khalifah berkata: "Apakah engkau mengenal anakku?'
Aku menjawab: 'Betul, aku mengenalnya.'
Khalifah bertanya: 'Pekerjaan apakah yang ia lakukan?'
Aku menjawab: 'Ia bekerja sebagai tukang batu.'
kahlifah bertanya: 'Apakah engkau uga pernah mepekerjakannya sebagai tukang batu?'
Aku menjawab: 'Ya, pernah.'
Khalifah bertanya lagi: 'Apakah engkau tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan kekrabatan dengan Rasulullah saw?' (harun Ar-Rasyid adalah keturunan Abbas ra, paman Nabi Muhammad saw)
Aku berkata: 'Amirul Mukminin, terlebih dahulu aku memohon ampunan dari Allah SWT, setelah itu aku memohon maaf kepadamu. pada waktu itu aku belum mengetahui kalau ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw, aku mengetahuinya ketika ia hendak meninggal dunia.'
Khalifah bertanya lagi: 'Apakah engkau yang memandikannya dengan tanganmu sendiri?'
Aku menjawab: 'benar'
Khalifah berkata: 'ulurkan tanganmu!' Ia menarik tanganku, dan kemudian menempelkannya di dadanya. Harun Ar-Rasyid ingin pergi ke Bashrah untk menziarahi makam anaknya. Abu Amir pun menyertainya.
Abu Amir ra berkata: "Pada malam harinya, ketika aku telah menyelesaikan wirid-wiridku, aku tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi melihat istana yang berkubar dari nur, diatasnya terdapat awan dari nur yang menaunginya. Kemudian awan itu hilang, dan keluarlah suara almarhum anak itu memanggilku sambil berkata: "Wahai Abu Amir, semoga Allah memberimu balasan yang lebih baik karena engkau telah memandikan, mengkafani dan memakamkan aku, dan telah menuaikan semua wasiatku."
Aku bertanya kepadanya: "Wahai kekasihku, bagaimana keaadaanmu, apa yang engkau alami?' Ia berkata: 'Aku telah sampai ke hadapan Tuhan Yang Maha Pemurah dan Dia sangat ridha kepadaku.' Al Malik telah memberi tahu kepadaku bahwa aku mendapatkan sesuatu yang tidak pernah di lihat oleh mata manusia, tidak pernah terdengar oleh telinga manusia, dan akal tidak dapat memikirkannya."
Kemudian ruh pemuda tersebut berkata kepadaku dalam mimpiku: "Allah SWT telah berjanji kepadaku, Dia bersumpah dengan keagungan-Nya bahwa Dia akan menganugerahkan kenikmatan, kehormatan, dan karunia semacam itu kepada semua hamba-Nya yang keluar dari dunia seperti aku."
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an: "Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS. As-Sajdah: 17).
Ini adalah sebuah kisah dari kisah-kisah yang paling menakjubkan. Kisah seperti ini jrang terjadi, kecuali pada masa yang sangat berjauhan rentangnya dari usia zaman. Pemilik kisah ini rela meninggalkan perhiasan dunia padahal dia masih muda belia. Ini adalah sebuah gaya hidup yang sangat langka dalam dunia manusia. Sungguh, cahaya ketaqwaan telah menyinari sisi-sisi jiwanya. Semoga Allah merahmati Ahmad bin Harun Ar-Rasyid. Aamiin....